Drama Absurd


contoh drama absurd 1
Agama Saya, dengan Perintah Puasanya, Telah Menjadi Mimpi Buruk bagi Sebagian Orang: Bulan Amarah part 2
Akhir pekan lalu, saya buka puasa bersama dengan teman-teman yang tidak puasa. Aneh? Ah, bahkan yang punya ide untuk
bikin acara buka bersama di TIM itu juga teman saya yang tidak puasa. Jadi, kami bertujuh, hanya saya sendiri yang puasa, dan harus menunggu adzan magrib untuk menyeruput es campur kacang merah yang menggoda itu, sementara teman saya yang memesan menu yang sama sudah menghabiskannya lebih dulu. Dan, saya sudah terbiasa dengan acara seperti ini: buka bersama dengan orang-orang yang tidak berpuasa. Saya menikmati itu sebagai sebentuk penghargaan yang manis dari teman-teman yang berbeda agama dengan saya. Meskipun, tidak selalu yang tidak berpuasa itu bukan Islam.
Di antara kami bertujuh malam itu, satu-satunya teman saya yang Islam-tapi-tidak-puasa bahkan meledek saya,"Ah zaman gini masih puasa, udah nggak ngetren tahu." Saya tertawa dan merasa senang dengan celetukan itu. Di negeri yang suka sekali mengaku relijius ini, mendengar komentar seperti itu sungguh seperti oase di tengah gurun pasir. Menyegarkan, dan memberi cara pandang lain terhadap realitas (apa sih, Mu?)
Dua hari kemudian, saya melihat Metro TV melaporkan kejadian yang benar-benar mengejutkan saya: FPI Ciamis mengobrak-abrik warung-warung makan yang buka pada siang hari, dan (Metro TV menggunakan istilah yang sangat tepat) "menghakimi" orang-orang yang kedapatan makan "di tempat umum".
Saya bengong, marah, dan ingin menangis sekeras-kerasnya. Saya hidup di negeri apa ini? Saya mendengar sayup-sayup jerit tangis pilu melatari narasi pembawa berita yang menyebut-nyebut "perempuan yang mengandalkan nafkahnya semata-mata dari warung makan." Tubuh saya langsung lemas, dan ingin rasanya terbang ke langit, kalau Tuhan memang ada di sana. Dan, bertanya, apakah Dia bercanda waktu menurunkan ayat yang menyebutkan bahwa Islam itu rahmatan lil alamin? Kalau memang itu serius, kenapa orang-orang itu tak kunjung memahami maknanya --halo, begitu sulitkah memahami sepotong kalimat pendek yang sederhana dan terang-benderang itu?
Malam itu saya jadi malas sekali untuk bangun sahur. Saya sedih bahwa agama saya dengan perintah puasanya telah menjadi mimpi buruk bagi sebagian orang. Saya teringat komentar ngocol teman saya saat berbuka puasa di TIM itu, yang tiba-tiba saya rasakan benar relevansinya dengan kenyataan di luar sana yang sungguh mengerikan: ketika sekelompok orang sambil berteriak 'Allahu Akbar!' menghilangkan nafkah orang lain, maka masih perlukah Tuhan, agama dan perintah-perintah ibadah?
Perkataan teman saya itu, yang terkesan asal dan konteksnya tentu saja memang bercanda, tiba-tiba saya rasakan sebagai sebuah "sikap politik" yang begitu benar, dan penting untuk meledek habis-habisan kecenderungan absurd orang-orang yang suka memperalat agama untuk kepentingan-kepentingan dangkal kelompoknya sendiri. Saya sedih bahwa saya tak kunjung punya ketegasan sikap seperti itu, dan hanya bisa marah-marah. Sendirian.
PS:
Baiklah, kalau ada Tuhan yang membenarkan salah satu perintahnya digunakan sebagai alasan untuk menindas orang lain (yang mungkin memang merasa tidak perlu melakukan perintah itu, karena Tuhan dan keyakinannya memang berbeda, atau karena alasan lain yang itu jelas-jelas bukan urusan siapa pun dan tak seorang pun berhak mengusiknya), maka saya pastikan saya akan mulai memikirkan untuk mencari Tuhan yang lain saja.
contoh drama absurd 2
Bulan amarah
Setiap bulan puasa tiba, halaman opini Kompas dan tentu juga koran-koran lain dipenuhi esei-esei dari para pemikir keagamaan, ilmuwan sosial, pengamat dan sebagainya yang membahas ibadah puasa dalam konteks yang luas. Puasa ditarik dalam argumen yang serba indah, umumnya dikaitkan dengan universalitasnya sebagai perintah Tuhan, dan cakupan fungsi-fungsi sosial yang bisa direngkuhnya: dari mengasah sensitivitas pada penderitaan kaum miskin sampai merekatkan (kembali) solidaritas kolektif dan semacamnya.
Saya selalu membayangkan, jika apa yang dipaparkan oleh para pemikir keagamaan tentang makna puasa itu benar, tentunya saat ini masyarakat negeri relijius ini sudah berada dalam taraf kehidupan yang luar biasa ideal. Setiap tahun selama bertahun-tahun umat Islam berpuasa dengan gegap-gempita, dan dari tahun ke tahun --kalau mengikuti teori-teori para pemikir keagamaan yang disebarluaskan oleh Kompas dan koran-koran lain itu-- rakyat negeri ini tentu sudah mencapai tingkat hidup yang bahagia, tenteram, sejahtera: orang-orang kayanya paham betul rasanya lapar sehingga mereka dengan riang senantiasa berderma. Semacam itulah.
Tapi, mengapa hal itu tidak terjadi?
Apakah tuan-tuan ilmuwan sosial dan para pemikir keagamaan itu bohong?
Saya ingat ustad favorit saya di Solo dulu, yang biasa mengisi kutbah ba'da dhuhur di Masjid Agung Keraton Surakarta setiap Senin, namanya Pak Solihan (lebih sering mengenakan baju batik ketimbang gamis atau koko putih). Pada suatu kesempatan bertepatan dengan momen Idul Adha, ia menyebut adanya ilmuwan/pemikir/pengamat yang suka menjilat. Entah siapa yang mau dijilat dan bagian apanya yang mereka ingin jilat, yang jelas menurut Pak Solehan mereka itu suka ngomong "tinggi-tinggi": selalu mengait-ngaitkan ibadah-ibadah dalam Islam (berkurban, puasa) dengan kemuliaan-kemuliaan sosial. Padahal dalam kenyataannya, dari zaman ke zaman keadaan tak pernah berubah. Orang-orang Islam tetap saja tak lebih dari pribadi-pribadi individualistik akut: berkurban tiap tahun, naik haji tiap tahun, puasa tiap tahun tapi seumur hidupnya tak pernah tahu bahwa 10 atau 20 meter dari rumahnya yang berpagar tembok tinggi banyak orang yang setiap hari menahan lapar.
Oleh karenanya saya benar-benar sedih (dan kemudian ingin marah) bahwa pada puasa tahun ini, apa yang saya saksikan masih saja sama: artikel-artikel opini yang bertebaran di Kompas dan koran-koran lain, yang isinya sama dengan yang telah saya baca dari tahun ke tahun sejak dahulu kala.
Apakah ilmuwan-ilmuwan itu, pengamat-pengamat itu, pemikir-pemikir itu, sebenarnya tak pernah keluar dari ruang kerja mereka yang penuh buku dan menginjakkan kakinya di jalan-jalan yang kotor? Jangan-jangan benar bahwa mereka tak lebih dari para penjilat --paling apes menjilat para redaktur koran yang tak pernah membaca naskah-naskah yang masuk ke redaksi kecuali "o, ini judulnya aktual". Dan mereka, ilmuwan/pengamat/pemikir itu, tentu tahu benar tulisan seperti apa yang laku pada musim apa. Tak peduli isinya hanya pengulangan-pengulangan yang sangat basi dan tak memiliki makna apa pun bagi objek/subjek dari tulisan itu sendiri, atau dengan kata lain bagi kehidupan di luar halaman koran.
Karena saya tahu, segalanya tak seindah yang mereka tulis di rubrik opini itu.
Saya tahu, bulan puasa hanyalah saat ketika orang-orang kaya yang tak punya tetangga dan tak pernah menginjakkan kaki di masjid di lingkungan tempat tinggal mereka sendiri, setahun sekali mengajak seluruh keluarga naik mobil menuju Masjid Raya Pondok Indah atau Masjid Al Azhar atau Masjid Cut Mutia atau Masjid Sunda Kelapa setidaknya pada malam pertama.
Saya tahu, bulan puasa hanyalah saat bagi ustad-ustad badut memperkaya diri dengan petuah-petuah paling basi berbumbu lawakan-lawakan garing yang mereka sebut siraman rohani, di televisi.
Saya tahu, bulan puasa hanyalah musim panen bagi kapitalis yang tiba-tiba menjadi relijius dengan pesan-pesan "mari berbagi", "puasa untuk semua", "selamat menunaikan ibadah di bulan suci" dalam iklan-iklan produk mereka. Dan kita lihat, sebuah iklan mengajari kita untuk menyantuni anak-anak jalanan dengan teh botol saat buka puasa tiba.
Bulan puasa adalah saat ketika televisi menampilkan puncak-puncak kedangkalannnya, lewat seorang ustad yang selalu dan selalu hanya dan hanya bicara tentang betapa sucinya bulan ini betapa setan-setan dibelenggu betapa pintu surga dibuka lebar-lebar dan pintu neraka ditutup rapat-rapat betapa semua ibadah dilipatgandakan pahalanya, dan pembawa acara yang berisik kemudian membuka interaksi dengan pemirsa di rumah dan seorang ibu menelepon dan bertanya, dengan pertanyaan yang sebenarnya tak perlu ditanyakan (lagi) karena setiap tahun pasti ditanyakan dan semua orang sudah tahu jawabannya sejak menjalankan ibadah puasa untuk pertama kali dalam hidup mereka, mungkin pada usia sebelum 8 tahun.
Bulan puasa, tidak seperti yang kita dengar selama ini sebagai bulan penuh berkah dan ampunan, adalah bulan yang membakar amarah karena setiap bulan ini tiba kita seperti diingatkan bahwa ilmu kita tak pernah bertambah, bahwa kebodohan kita tak pernah berkurang bahwa umat Islam tak pernah beranjak maju seinci pun bahwa koruptor-koruptor tetap akan korupsi dan orang-orang kaya akan tetap naik haji setiap tahun tanpa pernah tahu bahwa di sekitarnya orang-orang menahan lapar.
Dan ilmuwan-ilmuwan itu, pengamat-pengamat itu, pemikir-pemikir itu tetap gagal melihat kenyataan.
Dan agama tetap tak pernah menjadi anugerah.
Dan calo-calo tiket kereta terus berpesta (dan nanti menjelang lebaran Pos Kota, Berita Kota, Warta Kota akan melaporkan di halaman muka kejadian dua atau tiga atau empat tahun lalu yang tak ada jaminan tak akan terulang: 3 perempuan tua tewas terinjak-injak saat berdesakan mengantri pembagian sedekah 20 ribu rupiah dari seorang haji kaya raya, mungkin di Pasar Minggu atau di mana).
Dan saya tetap marah-marah. Sendirian.

Postingan Populer